Selasa, 20 Januari 2009

ETIKA ISLAM

Etika dalam Islam

Islam adalah agama yang hadir di muka bumi ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Islam perlu dipahami melalui jalan praktis karena fungsi agama ini adalah untuk memberikan solusi-solusi yang terbaik atas segala problem sosial yang ada dalam masyarakat.

Semua tuntunan etika Islam dapat ditemukan di dalam Al-Qur'an. Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar (17:9).

Sejauh ini kata etika, akhlak, moral diyakini sebagai term yang mewakili sifat baik pada manusia. Secara gramatikal, kata akhlak berasal dari bahasa Arab, ia merupakan bentuk jama’ dari Khulq yang berarti karakter dan sifat. Karakter dan sifat di sini masih dalam bentuk netral, atau belum dihukumi sebagai sebuah sifat yang baik dan buruk, di antara sifat tersebut antara lain; keberanian, pengecut, sombong, arif, jujur, dsb. Tujuan dari ajaran etika adalah membentuk karakter yang baik. Ilmu akhlak adalah ilmu yang mengkaji tentang apa seharusnya dan apa yang tidak seharusnya dikerjakan oleh manusia.

Beberapa arti dari istilah akhlak adalah sebagai berikut :
  1. Sebagian ulama akhlak Islam mendefinisikan etika dengan; sifat batin yang menyebabkan kemunculan tindakan-tindakan yang baik atau buruk, apakah itu terpatri kuat atau tidak pada jiwa manusia, ataukah perlu pertimbangan pikiran.
  2. Arti etika secara umum yang sering digunakan para ulama akhlak muslim adalah sifat-sifat yang melekat pada jiwa manusia.
  3. Ada pula yang mendefinisikan bahwasannya kata moral hanya mewakili tindakkan yang baik, sedang yang buruk adalah ammoral.
Istilah “etika” dan “moralitas” adalah dua istilah yang hampir mirip, namun sesungguhnya berbeda. Kata “etika” berasal dari kata Yunani yang dipakai untuk pengertian karakter pribadi, sedangkan “moral” berasal dari kata Latin untuk kebiasaan sosial. Etika memiliki pengertian bahwa manusia diharapkan mampu mengatasi sifat-sifat jahatnya dan mengembangkan sifat-sifat baik dalam dirinya.

Memahami Islam dengan kandungan ajaran moralitasnya perlu dilacak secara historis bagaimana konstruksi bangunan pemikiran Islam ketika Nabi Muhammad SAW mengembangkan Islam pada saat itu. Hal ini penting agar kita mampu menangkap pesan-pesan moralitas Islam dengan baik. Karena, oleh sebagian besar masyarakat Muslim, konstruksi pemahaman tentang Islam selalu dirujuk pada produk aturan syariat yang didirikan Rasulullah.
Etika islam merupakan pedoman mengenai perilaku individu maupun masyarakat di segala aspek kehidupan yang sesuai dengan ajaran islam.

Etika islam didasari oleh 2 prinsip berikut :
  1. Fitrah manusia. Yaitu insting alami (fitrah) yang diberikan kepada jiwa manusia oleh Allah waktu pertama kali diciptakan (91:7-8). Dengan adanya insting ini, orang dapat membedakan tidak hanya antara yang baik dan yang buruk, tetapi juga yang netral. Namun, kesadaran etika tidak cukup untuk petunjuk pribadi. Karena kompleksitas hidup kesadaran etika saja tidak dapat mendefinisikan attitude yang benar terhadap setiap masalah. Seseorang tidak hidup dalam vakum, tetapi dipengaruhi oleh pengaruh luar yang dapat mengkorupsi kemampuan untuk memilih antara yang benar dan yang salah. Pengaruh luar ini termasuk kebiasaan, kepentingan pribadi, dan konsep-konsep yang membentuk lingkungan.
  2. Dasar hukum dan agama, yang mendasari etika islam diperkenalkan oleh utusan-utusan Allah. Hukum dalam islam tidaklah negatif dalam arti memaksa kesadaran kita untuk mematuhinya. Sebaliknya, instruksi hukum telah disampaikan sedemikian rupa sehingga kesadaran dapat melihatnya sebagai kebenaran. Dengan demikian hukum itu menjadi bagian dari kesadaran manusia. Hukum yang asing tidak dapat bekerja karena, meskipun mungkin untuk membuatnya mengikat secara legal, tetapi tidak dapat mengikat secara moral kepada muslim. Muslim dengan sukarela membayar zakat karena tahu apabila tidak mengerjakannya mereka akan bertanggung-jawab secara hukum dan etika.
Etika dalam islam tidaklah didasari oleh nilai-nilai yang terpisah, dimana setiap nilai, seperti kejujuran dan kebenaran, berdiri terisolasi dari yang lain. Namun, nilai dalam islam adalah bagian dari cara hidup yang komprehensif dan total, yang memberikan petunjuk dan kontrol dari kegiatan manusia. Kejujuran adalah nilai etis, seperti juga menjaga kehidupan, menjaga lingkungan, dan memelihara perkembangan di dalam yang diperintahkan oleh Allah.

Nilai-nilai etika islam tidak berdasarkan oleh pikiran manusia, sebagaimana pendapat Aristoteles mengenai nilai, dan bukan juga apa yang diatur oleh masyarakat terhadap individu, seperti pendapat Durkheim, dan bukan juga untuk kelas-kelas tertentu, seperti pendapat Marxist. Dalam hal seperti ini nilai-nilai dipengaruhi oleh keadaan. Dalam islam, nilai-nilai etika adalah didasari oleh skala yang akurat yang tidak berubah karena waktu atau tempat. Nilai-nilai islam adalah sesuatu yang tanpa kehadirannya, manusia ataupun lingkungan tidak dapat dipertahankan.

Islam Agama Moral

Islam adalah agama moral yang memiki fungsi sebagai “jalan kebenaran” untuk memperbaiki kehidupan sosial umat manusia. Memahami Islam secara substantif akan menjadi panduan universal dalam tindakan moral. Memahami Islam tidak hanya sebatas ritual ibadah saja, tapi perlu juga dimaknai secara lebih luas, yaitu bagaimana usaha kita menjadikan Islam sebagai panduan moral yang murni.

Islam Sumber Nilai dan Etika

Islam merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik menyangkut hak milik dan hubungan sosial. Sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, cenderung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak begitu tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Kurangnya kedua sistem itu dari wacana moralitas, karena keduanya memang tidak berangkat dari etika, tetapi dari kepentingan (interest). Kapitalisme berangkat dari kepentingan individu sedangkan sosialisme berangkat dari kepentingan kolektif.

Etika Bisnis Islami

Al-Qur’an sangat banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis. Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi dan bebas dari kecurigaan atau penipuan. Rasulullah adalah seorang pedagang bereputasi international yang mendasarkan bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi (transenden). Dengan prinsip-prinsip bisnis yang ideal, Nabi Muhammad SAW membangun sistem ekonomi Islam yang tercerahkan. Nilai, spirit dan ajaran yang dibawa Nabi itu, berguna untuk membangun tata ekonomi baru, yang akhirnya terwujud dalam tata ekonomi dunia yang berkeadilan.

Rasululah SAW, sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya yaitu :
  1. Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran.
  2. Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis.
  3. Tidak melakukan sumpah palsu.
  4. Ramah-tamah.
  5. Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut.
  6. Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya.
  7. Tidak melakukan ihtikar (yaitu menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh).
  8. Takaran, ukuran dan timbangan yang benar.
  9. Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah.
  10. Membayar upah sebelum kering keringat karyawan.
  11. Tidak monopoli.
  12. Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial.
  13. Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb.
  14. Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan.
  15. Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya.
  16. Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar.
  17. Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba.
Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini, Allah akan melapangkan hatinya dan akan membukakan pintu rezeki, dimana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis dan moralis.

Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran (QS: Al Ahzab;70-71). Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya ”Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga” (Hadits).

Akhlak yang lain adalah amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya, dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalah nya dari unsur yang melampaui batas. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya ”Tidak ada iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah (tempatnya di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada”(Hadits).

Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah mempermudah pergaulan, mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal ”Allah mengasihi orang yang lapang dada dalam menjual, dalam membeli serta melunasi hutang” (Hadits).

Konsekuen terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses yang lain dalam hal apapun sesungguhnya Allah memerintah kita untuk hal itu ”Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (QS: Al- Maidah;1), ”Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan orang dari kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah ”Tanda-tanda munafik itu tiga perkara, ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia khianat” (Hadits).

Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam Syariah meliputi :
  1. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam.
  2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal (islam melarang praktik riba)
  3. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah.
  4. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan.
Model promosi yang dilarang dalam islam dapat kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian yang lain. Demikian pula pada proses jual beli harus dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari’ah Islam secara menyeluruh, termasuk etika jual beli.

Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut :
  1. Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan oleh penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak mengkonsumsinya.
  2. Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor, atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.
  3. Eksploitasi wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan pembelian terhadap produk mereka.
Etika Islam dalam Kehidupan

Beberapa etika Islami yang harus dijunjung tinggi oleh setiap muslim di dalam kehidupannya sehari-hari. Rasulullah adalah teladan kita, dan beliau menegaskan dan menyuruh kita untuk berahlak mulia (husnul khulq). Adapun ahlak mulia yang di junjung Rasullulah itu meliputi : Kritis dan teliti, Lembut dan pemaaf, Jujur, Sabar, Tawadhu’ (rendah hati), Amanah (jujur), Malu, Perkataan yang manis dan muka yang ramah, Bakti kepada orang tua, Silaturrahmi, dan lain-lain.
Beberapa etika menurut islam yang dapat diterapkan seorang muslim di dalam kehidupan sehari-hari, meliputi :

1. Etika Dalam Pergaulan

Ada beberapa hal yang perlu kita tumbuh kembangkan agar pergaulan kita dengan sesama muslim menjadi sesuatu yang indah sehingga mewujudkan ukhuwah islamiyah. Tiga kunci utama dalam pergaulan untuk mewujudkan ukhhwah islamiyah yaitu :
  • Ta’aruf atau saling mengenal menjadi suatu yang wajib ketika kita akan melangkah keluar untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dengan ta’aruf kita dapat membedakan sifat, kesukuan, agama, kegemaran, karakter, dan semua ciri khas pada diri seseorang.
  • Tafahum atau memahami, merupakan langkah kedua yang harus kita lakukan ketika kita bergaul dengan orang lain. Setelah kita mengenal seseorang pastikan kita tahu juga semua yang ia sukai dan yang ia benci. Inilah bagian terpenting dalam pergaulan. Dengan memahami kita dapat memilah dan memilih siapa yang harus menjadi teman bergaul kita dan siapa yang harus kita jauhi, karena mungkin sifatnya jahat. Tak dapat dipungkiri, ketika kita bergaul bersama dengan orang-orang shalih akan banyak sedikit membawa kita menuju kepada kesalihan. Dan begitu juga sebaliknya, ketika kita bergaul dengan orang yang akhlaknya buruk, pasti akan membawa kepada keburukan perilaku ( akhlakul majmumah ).
  • Ta’awun atau saling menolong, sikap ini akan menumbuhkan rasa cinta pada diri seseorang kepada kita. Bahkan Islam sangat menganjurkan kepada ummatnya untuk saling menolong dalam kebaikan dan takwa.
2. Etika Membaca Al-Qur'an

Sebaiknya orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan sudah berwudhu, suci pakaiannya, badannya dan tempatnya serta telah bergosok gigi. Hendaknya memilih tempat yang tenang dan waktunya pun pas, karena hal tersebut lebih dapat konsentrasi dan jiwa lebih tenang. Hendaknya memulai tilawah dengan ta`awwudz, kemudian basmalah pada setiap awal surah selain selain surah At-Taubah. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Apabila kamu akan mem-baca al-Qur’an, maka memohon perlindungan-lah kamu kepada Alloh dari godaan syetan yang terkutuk”. (An-Nahl: 98).

3. Etika Di Masjid

Masjid merupakan tempat ibadah kaum muslimin, karena itu, kita harus menghormatinya. Berada di masjid tidak boleh bersikap sembarangan. Ada beberapa etika yang harus kita junjung kalau kita berada di masjid. Berikut beberapa etika di masjid: Berdoa di saat pergi ke masjid. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas beliau menyebutkan, “Adalah Rasulullah saw. apabila ia keluar (rumh) pergi sholat (di masjid) berdo’a, ‘Ya Allah swt., jadikanlah cahaya di dalam hatiku, dan cahaya pada lisanku, dan jadikanlah cahaya pada pendengaranku dan cahaya pada penglihatanku, dan jadikanlah cahaya dari belakangku dan cahaya dari depanku, dan jadikanlah cahaya dari atasku dan cahaya dari bawahku. Ya Allah swt. anugerahilah aku cahaya dari bawahku. Ya Alloh swt., anugerahilah aku cahaya” (Muttafaq ‘Alaih)

4. Etika Terhadap Sesama Muslim

Orang Muslim meyakini hahwa saudara seagamanya mempunyai hak-hak, dan etika-etika yang harus ia terapkan terhadapnya, kemudian ia melaksanakannya kepada saudara seagamanya, karena ia berkeyakinan bahwa itu adalah ibadah kepada Allah Ta’ala, dan upaya pendekatan kepada-Nya. Hak-hak dan etika-etika ini diwajibkan Allah Ta‘ala kepada orang Muslim agar ia mengerjakannya kepada saudara seagamanya. Jadi, menunaikan hak-hak tersebut adalah ketaatan kepada Allah Ta‘ala dan upaya pendekatan kepada-Nya tanpa diragukan sedikit pun. Di antara hak-hak dan etika-etika tersebut adalah sebagai berikut:
Ia mengucapkan salam jika ia bertemu dengannya sebelum ia berbicara dengannya dengan mengatakan, “As-Salamu’alaikum wa Rahmatullah”, berjabat tangan dengannya, dan menjawab salamnya dengan berkata, “Wa‘alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuhu”.

5. Etika Terhadap Anak

Orang Muslim mengakui bahwa anak-anak mempunyai hak-hak atas ayahnya dan hak-hak tersebut wajib ditunaikan seorang ayah. Dan ia mempunyai etika-etika yang harus ia perhatikan dalam hubungannya dengan anak-anaknya. Di antara hak anak-anak atas ayahnya ialah mencarikan ibu yang baik baginya, menamakannya dengan nama yang baik, menyembelih kambing pada hari ketujuh kelahirannya, mengkhitankannya, mengasihinya, lemah-lembut terhadapnya, menafkahinya, mendidiknya dengan baik, serius mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepadanya, dan melatihnya mengerjakan ibadah-ibadah wajib dan ibadah-ibadah sunnah, menikahkannya jika ia mencapai usia baligh, memberi penawaran kepadanya apakah ia hidup serumah dengannya atau pindah ke rumah tersendiri jika telah menikah, dan membangun keluhurannya dengan tangannya sendiri.

6. Etika Terhadap Orang Tua

Orang Muslim meyakini hak kedua orang tua terhadap dirinya, kewajiban berbakti, taat, dan berbuat baik kepada keduanya. Tidak karena keduanya penyebab keberadaannya atau karena keduanya memberikan banyak hal kepadanya hingga ia harus berbalas budi kepada keduanya. Tetapi, karena Allah Azza wa Jalla mewajibkan taat, menyuruh berbakti, dan berbuat baik kepada keduanya. Bahkan, Allah SWT mengaitkan hak orang tua tersebut dengan hak-Nya yang berupa penyembahan kepada Diri-Nya dan tidak kepada yang lain.
Allah SWT berfirman : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al-Isra’: 23).

7. Etika dalam Bekerja

Pengertian kerja dalam Islam dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu :
1. Kerja dalam arti luas (umum), yakni semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi atau nonmateri, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan atau keakhiratan. Jadi dalam pandangan Islam pengertian kerja sangat luas, mencakup seluruh pengerahan potensi yang dimiliki oleh manusia.
2. Kerja dalam arti sempit (khusus), yakni kerja untuk memenuhi tuntutan hidup manusia berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal (sandang, pangan dan papan) yang merupakan kewajiban bagi setiap orang yang harus ditunaikannya, untuk menentukan tingkatan derajatnya, baik di mata manusia, maupun dimata Allah SWT.

Dalam melakukan setiap pekerjaan, aspek etika merupakan hal mendasar yang harus selalu diperhatikan. Seperti bekerja dengan baik, didasari iman dan taqwa, sikap baik budi, jujur dan amanah, kuat, kesesuaian upah, tidak menipu, tidak merampas, tidak mengabaikan sesuatu, tidak semena–mena (proporsional), ahli dan professional, serta tidak melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan hukum Allah atau syariat Islam (al-Quran dan Hadits).

Etika dan Syari'at Islam

Bahwasannya terdapat korelasi antara etika dengan syari'at. Ketika kita melakukan hubungan dengan Tuhan sebagai objek sesembahan, penting sekali ketika kita menggunakan akhlak yang baik (adab). Etika sebagai sebuah disiplin ilmu yang dicapai dengan pembersihan jiwa seseorang dengan syari'at yang merupakan "representasi" hukum-hukum Allah.

Syari'at adalah peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan. Mendalami syari'at sebagai peraturan dan hukum Allah, menjadi kewajiban umat Islam terutama yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. Seperti dalam firman: Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în yang artinya: Hanya kepada Engkau (Allah), aku beribadah, dan hanya kepada engkau aku memohon pertolongan." (QS. Al-Fâtihah: 4-5). Dan yang dimaksud dalam ayat itu adalah sebuah penyaksian seorang hamba kepada Tuhan sebagai objek sesembahan, yakni dengan melakukan ibadah yang sudah ditetapkan dalam syari'at. Di dalam syari'at, berisi peraturan-peraturan Tuhan yang bersifat wajib bagi setiap muslim, layaknya shalat, dzakat, dsb. Yang kemudian dikembangkan para mujtahid dengan fiqh.

Etika Sosial dalam Islam

Etika sosial Islam harus berlandaskan pada cita-cita keadilan dan kebebasan bagi individu untuk melakukan kebaikan sosial. Etika sosial Islam adalah sebuah pandangan moralitas agama yang mengarahkan manusia untuk berbuat baik antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan teratur. Etika sosial Islam juga harus menjamin adanya kebebasan individu.

Etika sosial Islam memiliki peran yang sangat besar bagi perbaikan atas kehidupan umat manusia. Etika sosial Islam mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri ini penting untuk menggerakkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Kehidupan umat manusia perlu dibangun dengan perspektif agama yang lebih memperdulikan pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan keadilan. Jadi, Islam tidak semata diartikan sebagai ritualisasi ibadah dan etika individual semata, tapi juga sebagai agama yang penting untuk memperbaiki kehidupan sosial secara lebih luas.

Etika Islam : Asy’ariyah vs Mu’tazilah

Perdebatan teologi juga berimplikasi pada perdebatan tentang etika dalam Islam. Sebagian besar kontroversi bidang etika dalam filsafat Islam adalah bersumber dari perdebatan-perdebatan teologi yang paling pokok. Perdebatan antara kelompok Asy’ariyah dan Mu’tazilah adalah salah satu contoh yang pernah menghiasi sejarah pemikiran Islam.

Menurut kalangan Asy’ariyah, makna etika murni bersifat subyektif, bisa mempunyai makna apabila ada subyek (Allah). Satu-satunya tujuan bertindak moral adalah untuk mematuhi Allah. Bagi mereka, makna moralitas hanya bisa dipahami apabila mampu bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah. Sedangkan kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perintah Allah benar adanya, dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah. Dia memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang benar lantaran memang benar adanya, berdasarkan landasan-landasan obyektif, bukan pada perintah Allah. Allah tidak dapat menunut kita untuk melakukan sesuatu yang benar karena aturan-aturan moralitas bukanlah ha-hal yang berada di bawah kendali-Nya.

Perdebatan dua madzhab tersebut masih berlanjut hingga kini. Kalangan Asy’ariyah memandang moralitas berada di bawah kontrol Tuhan, atau dengan pengertian lain moralitas itu menyerupai agama. Akan tetapi, kalangan Mu’tazilah berpandangan sebaliknya. Mereka memandang moralitas adalah sebuah tindakan rasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak semata ditentukan oleh tuntutan agama.

Tidak ada komentar: