Jumat, 21 November 2008

Tanggapan terhadap kasus pungli di Dinas Pendidikan Aceh

Tanggapan saya terhadap berita yang termuat dalam surat kabar Serambi Indonesia, Kamis (13/11/08), Jumat (14/11/08), dan Sabtu (15/11/08) tentang praktik pungutan liar (pungli) antara Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Dinas Pendidikan Aceh [sebagai penerima suap] dengan Kontraktor pemenang tender [sebagai pemberi suap] adalah sebagai berikut :

Bahwa tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut dianggap tidak etis. Disamping telah mencoreng dan memalukan dunia kepegawaian di jajaran pemerintah (termasuk dunia pendidikan Aceh), mereka juga telah menyimpang dari visi, misi, dan tujuan pemerintah Aceh itu sendiri. Bahkan praktik pungli yang dilakukan PPTK Dinas Pendidikan Aceh telah melanggar komitmen dan sumpah pegawai.

Menerima pemberian bisa dikatakan tindakan yang etis ataupun tidak etis tergantung dari niat atau pribadi dari si pemberi dan si penerima. Menerima pemberian dari si pemberi tanpa memintanya dan tanpa menjadikan pemberian tersebut sebagai syarat untuk melakukan sesuatu, maka bisa dikatakan tindakan tersebut adalah etis, dan hal ini erat kaitannya dengan konsep ikhlas yaitu kita memberikan sesuatu dengan tidak mengharapkan imbalan. Mungkin awalnya si pemberi memberikan sesuatu dengan niat ikhlas karena telah membantunya ataupun telah memberikan pelayanan yang cepat, tapi lama-kelamaan kebiasaan ini disalah artikan oleh si penerima, dimana uang ikhlas itu diartikan sebagai imbalan untuknya karena telah menyelesaikan tugas yang diberikan. Dan selanjutnya uang ikhlas yang diberikan berubah status menjadi pengutipan dana yang ditentukan jumlahnya, Sehingga kebiasaan ini menjadi tidak etis lagi. Jika dikaitkan dengan kasus pungli yang dilakukan oleh PPTK Disdik Aceh maka jelas tindakan yang dilakukannya itu dianggap tidak etis.

Dalam pandangan rasional tentang suatu organisasi, kewajiban moral utama pegawai adalah untuk bekerja mencapai tujuan organisasi tempat dia bekerja dan menghindari kegiatan-kegiatan yang mungkin mengancam tujuan tersebut. Jadi, bersikap tidak etis berarti menyimpang dari tujuan-tujuan tersebut dan berusaha meraih kepentingan sendiri dengan cara-cara yang melanggar hukum. Dan dikatakan bersikap etis jika pegawai berusaha mencapai tujuan organisasi dan tidak melakukan tindakan yang berkonflik pada tujuan tersebut. Ada sejumlah situasi dimana pegawai gagal melaksanakan kewajiban untuk mencapai tujuan perusahaan yaitu pegawai melakukan tindakan yang mengakibatkan terjadinya konflik kepentingan, salah satunya yaitu : mengenakan jabatan sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan dari orang lain dengan melakukan pemerasan atau suap, seperti praktik pungli yang dilakukan oleh PPTK Dinas Pendidikan.

Kasus ini telah menunjukkan satu indikasi bahwa masih ada petugas pemerintah yang baru mau melayani setelah diberikan sesuatu (imbalan), artinya mental petugas pemerintahan sudah terbiasa menerima imbalan terlebih dahulu sebelum memberikan pelayanan kepada publik dan hal ini sudah menjadi kebiasaan buruk dalam sistem pemerintahan. Padahal sebelumnya sudah ada prosedur yang telah diatur di jajaran pemerintah yaitu khusus dalam proses pelayanan administrasi di kantor-kantor pemerintahan dimanapun tidak dibenarkan untuk meminta pungutan kepada para pihak atau meminta imbalan dari tugas yang dilaksanakan, karena biaya administrasi (termasuk pencetakan kontrak kerja yang akan dibagikan kepada kontraktor), honor petugas, dan biaya operasi kegiatan proyek telah tersedia dalam pagu anggaran proyek secara menyeluruh. Oleh karena itu, kejadian ini termasuk kedalam kategori tindakan yang melanggar hukum, kode etik, dan sumpah yang diucapkan saat di lantik menjadi PNS. Dan secara tidak langsung pungli dalam kasus ini bisa membuat proses tender dan pelaksana proyek menjadi tidak sehat lagi, sehingga mengakibatkan proyek-proyek yang dikerjakan berada dibawah standar. Pungli atau uang terima kasih tersebut sama halnya dengan suap yang berpotensi merugikan keuangan negara.

Kasus ini perlu ditindaklanjuti dan harus direspon secara cepat dan proporsional serta ditertibkan, artinya pihak yang berwenang harus bergerak cepat untuk membenahi segala sektor pemerintahan , sehingga target untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Aceh dapat terwujud. Kasus ini merupakan pintu masuk untuk menuju ke arah pembenahan total agar kasus yang serupa tidak terulang lagi di kemudian hari. Jika pungli ini terbukti menyalahi prosedur yang berlaku, maka sudah sepatutnya dikenakan sanksi, baik itu sanksi teguran, sanksi tindakan, ataupun sanksi dalam rangka penegakan hukum. Dan kasus ini akan menjadi pelajaran bagi seluruh pejabat dan pegawai di jajaran pemerintah guna mewujudkan sistem pemerintahan Aceh yang baik dan bersih dari KKN.